Raphael Varane mengungkapkan alasannya untuk mengakhiri karier sepak bolanya secara dini di usia 31 tahun dan masa depannya bersama Como.

Bek tengah Prancis ini memberikan kabar mengejutkan pada akhir bulan lalu ketika mengumumkan akan menggantung sepatunya.

Ia terakhir kali bermain untuk klub yang baru promosi ke Serie A Como dengan status bebas transfer dari Manchester United.

Namun pada laga debutnya melawan Sampdoria di Coppa Italia, ia hanya bermain selama 23 menit sebelum ditarik keluar karena cedera lutut serius. Como pun lalu mencoret namanya dari daftar skuad.

Pada saat itu ia tahu kariernya telah berakhir. Eks pemain Real Madrid ini mengalami cedera pada lutut kirinya. Meskipun tahu cedera tersebut tidak begitu serius, ia tahu cedera tersebut muncul karena lutut kiri yang terus menopang lutut kanannya, yang sebelumnya sempat dioperasi pada 2013 lalu.

"Saya berharap bisa terus bermain, tetapi ketika saya mendapat cedera pertama pada 11 Juli, saya menyadari semuanya sudah berakhir," kata Varane kepada L'Equipe.

"Saya tahu itu, ini bukan masalah serius, tetapi fakta bahwa cedera itu terjadi di lutut kiri saya adalah sebuah tanda. Lutut kiri saya harus mengimbangi lutut kanan sejak 2013 dan berkat itu saya berhasil menemukan keseimbangan dalam kekurangan keseimbangan saya.”

"Jadi, jika lutut kiri memberi tahu Anda bahwa ia sudah muak memikul beban, Anda harus mendengarkannya. Cedera itu membuat saya kembali terpuruk, tetapi kali ini keseimbangan antara pengorbanan dan kesenangan hilang."

Saat mengumumkan untuk pensiun, Varane mengatakan masih akan memberikan kontribusi untuk Como di luar lapangan bersama pelatih Cesc Fabregas.

“Masa depan saya akan berada di Como,” jelas juara Piala Dunia 2018 bersama Prancis.

“Saya masih punya banyak hal untuk diberikan kepada sepak bola. Saya mencari kreativitas dan kebebasan, bukan gerakan robotik dan selalu seimbang.”

Varane soal sepak bola yang saat ini dimainkan seperti robot dan semakin tidak kreatif. Ia juga menyalahkan soal jadwal padat yang memberikan tekanan lebih kepada pemain, yang berujung kepada cedera lutut dan lainnya.

“Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi kita harus melakukan sesuatu yang berbeda dari cara yang dilakukan sekarang,” ujar Varane.

“Keadaan semakin tidak terkendali di sini dan situasinya bisa meledak. Saya juga berbicara tentang kesehatan mental para pemain, bukan hanya fisik.”

“Pemain yang kreatif semakin sedikit, sekarang semuanya tentang fisik. Sepak bola seharusnya menjadi permainan yang didasarkan pada kesalahan, tetapi sekarang sudah sedikit karena semuanya sangat robotik.”

Varane lalu memuji pelatihnya di Real Madrid, Carlo Ancelotti, sebagai pelatih yang paling banyak memberikan kebebasan di lapangan.

“Pelatih yang memberi Anda kebebasan paling besar untuk bergerak dan berkreasi adalah Carlo Ancelotti, tidak seperti pelatih generasi baru,” keluhnya.

“Di awal musim terakhir saya di Manchester United, saya mengatakan bahwa saya ingin mengakhiri karier saya di sana dan melanjutkan petualangan itu. Itu tidak terjadi dan musim panas itu sangat penuh peristiwa.”

“Saya mencari sesuatu yang istimewa dan saya menemukannya di Como. Saya menutup pengalaman saya di Manchester United dengan trofi turnamen, tetapi saya sudah tahu bahwa proyek klub itu bukan untuk saya. Como bukanlah daya tarik ekonomi, juga bukan daya tarik yang eksotis, tetapi pada tingkat manusia semuanya masuk akal”